Selamat Datang!

Salam Blog ini berisi pengalaman atau perjalanan dimana kami terlibat atau ikut serta ketika ada acara di kantor atau acara sekitar keluarga. Hanya berbagai saja, barang kali ada manfaatnya bagi pembaca. Trimakasih GBU

Friday, April 28, 2006

KETIKA AKU MASIH FRATER KARMELIT...

KETIKA MASIH FRATER KARMELIT
REFLEKSI SEJARAH PANGGILAN

(Pormadi Simbolon, ketika masih frater Karmelit)


Refleksi sejarah hidup panggilan merupakan suatu pemaknaan pengalaman-pengalaman hidup sehingga diperoleh suatu makna nilai dan perkembangan suatu perjalanan hidup. Atas alasan pencapaian makna, nilai dan perkembangan tersebut, saya merefleksikan sejarah pengalaman hidup panggilan saya. Mulai dari pengalaman hidup dalam keluarga, masa sekolah hingga di seminari, masa novisiat, masa di Biara Titus Brandsma, masa tahun berpastoral, hingga pada masa persiapan kaul kekal sekarang ini.


I. PENGALAMAN DALAM KELUARGA ( 1975 - 1987)
Dipanggil dengan nama Pormadi, lahir sebagai anak kedua dari delapan bersaudara (7 pria dan satu perempuan), pada tanggal 09 Agustus 1975di Parsiroan, Sidikalang, Sumatera Utara. Dibesarkan dan dididik oleh ayah yang pernah mengenyam pendidikan di SMP Katolik St. Paulus Sidikalang bersama ibu yang pernah mengalami pendidikan Sekolah Rakyat di Pulau Samosir, Tanah Batak. Dengan latar belakang pendidikan demikian, tentu kedua orang tuaku memiliki keterbatas dan kelebihan tersendiri. Dengan ekonomi pas-pasan, kedua orang tuaku sanggup menyekolahkan kami semua anaknya, minimal pada jenjang sekolah SMU, baik pada sekolah swasta maupun Negeri. Itu sudah merupakan kebanggan tersendiri bagi kami di pedesaan dan jarang bisa dicapai oleh tetangga atau penduduk satu desa.

Di samping itu, kedua orang tuaku berperan aktif dalam kegiatan Gereja. Ayahku yang sudah almarhum aktif sebagai bendahara Kredit Union (Credit Union) ( CU sekarang sudah mati ditelan waktu) di paroki Tigalingga dan ia merangkap juga sebagai ketua Dewan Stasi di stasiku tentunya. Sedangkan ibuku aktif sebagai anggota kelompok koor para ibu-ibu Katolik (Punguan Ina Katolik, “PIK” sebutan di stasiku).


Selama saya masih duduk di bangku SD sampai dengan SMP, saya selalu dididik oleh orang tua, supaya rajin belajar, dan mengikuti segala peraturan termasuk ketaatan kepada pimpinan.
Alasannya, segala kebaikan yang saya peroleh adalah demi kebaikan saya juga dan keluarga. Demikian ayahku pernah memberi nasehat. Dengan kemapuan yang ada, saya dapa mengikuti kegiatan belajar dengan lancar dan hasilnya pun lebih dari cukup serta belum pernah tinggal kelas. Itu semua berkat didikan dan nasehat kedua orang tuaku yang selalu rajin mencari nafkah untuk kami anak-anaknya supaya bisa beresekolah dengan baik.


Meskipun demikian, ayah ibuku mempunyai keterbatasan-keterbatasan, baik latar belakang pendidikan untuk anak-anak, pengalaman, dan keterbatasan pengetahuan. Itulah yang mungkin yang membuat perkembangan pribadiku secara psikososio-spiritual berlangsung secara lambat.


Selain itu, saya mempunyai sifat minder atau takut tampil di depan umum. Kenyataan ini diperteguh ketika saya pernah bertanya tentang suasana psikologis ibuku tatkala saya masih dalam kandungannya. Ibu saya mengaku bahwa ia merasa terlalu sepat mengandung saya. Sementara anak kedua (usia ira-kira 2 tahun) sedang meninggal dunia. Saya merasa malu, takut ke luar rumah, takut ditolak publik.


Demikian pengakuan ibuku. Pengalaman ibuku yang tercinta demikian ternyata turun kepada saya hingga saya beranjak menuju dewasa, yang baru saya sadari dan pahami pada usia kira-kira 25 tahun. Suatu perkembangan kepribadian yang lambat. Masa duduk di bangku sekolah SD merupakan masa yang indah. Segalanya berlangsung dengan bebas.Saya sering kali dengan polos meminta kebutuhan atau keinginan dan cita-cita berdasarkan alasan senang tidaknya atau cocok tidaknya sesuatu itu pada kita. Suatu ketika dengan polos saya mengajukan keinginan atau cita-cita saya yaitu mau menjadi pastor, seperti pastor Angel (sebutan untuk Pastor Supratigna). Ketertarikan saya berawal dari peristiwa khusus pada saat saya duduk di kelas VI SD. Sekali peristiwa Pastor Angel dengan chevrolet khasnya sedang pulang dari Stasi lain yang dekat dengan stasi kami, berpapasan dengan kami anak-anak yang pulang dari sekolah. Saya dengan polos dan yakin bahwa pastor itu begitu baik, maka saya berani menghentikan mobil pastor tersebut. Ternyata pastor tersebut tidak marah malahan menyuruh kami naik ke mobilnya. Saya sendiri sangat senang dan bangga. Di dalam mobil saya terkagum-kagum dengan jubah coklat romo yang lengkap tanpa mantol menumbuhkan niat dan panggilan mau menjadi seperti dia.


Akhirnya niat dan cita-citaku yang polos itu dikabulkan orang tua. Mereka malahan sangat senang.
Yang saya ingat tentang niat saya mau menjadi pastor adalah karena kebaikan pastor, ramah dan jubah coklat yang seperti “superman”. Hati orang tua yang sangat positif menanggapi niat saya itu memutuskan bahwa saya sebaiknya bersekolah di SMP St. Paulus Sidikalang dan tinggal di Asrama Marianum (sekarang hampir lenyap) yang dikelola oleh para biarawan Karmelit.


II. MASA SEKOLAH HINGGA DI SEMINARI (1982 - 1995)


Dengan melanjutkan pendidikan di SMP Katolik tersebut, saya dapat menyelesaikan pendidikan dengan hasil yang cukup memuaskan. Selain itu, di asrama, semua anak-anak sekolah mendapat pendidikan plus selain pendidikan formal di SMP. Saya mendapat pendidikan bagaimana hidup teratus, berdisiplin, dan pembinaan hidup rohani yang diberikan dua kali seminggu. Kami dilatih menjadi misdinar di gereja paroki. Kami dilatih mengatur kebersihan rumah, kamar mandi dan WC, selain membersihkan kebun asrama yang ditanami buah-buahan dan sayur-sayuran..


Pembinaan rohani diperkaya dengan bacaan Kitab Suci, buku-buku dan majalah rohani yang disediakan di oleh pembina asrama. Di asrama saya memperoleh pendidikan yang sangat berarti untuk hidup saya selanjutnya. Lama waktu tak berlalu, saya sudah duduk di kelas III SMP, pengumuman testing masuk seminari dari Pematang Siantar, sebagai seleksi penerimaan calon-calon imam sudah beredar ke paroki-paroki dan sekolah-sekolah Katolik yang ada di Sumatera-Utara. Saya pun tertarik mengikutinya.

Ketertarikan saya pada masa SD diperkaya lagi dengan image bahwa para seminaris itu orang-orang yang pintar, terutama dalam beberapa bahasa asing. Hal ini saya saksikan ketika para seminaris terdahulu, selalu seinggah di asrama kami. Saya mendengar pembicaraan dan penampilan mereka menunjukkan citra sebagai orang-orang pintar dan mempunyai intelektual yang bermutu. Saya semakin tertarik dan memutuskan mengikuti testing. Hanya dengan motif mau menjadi seperti pastor Angel, dan seperti para seminaris yang pintar dalam ilmu dan bahasa asing.


Dalam pikiranku juga timbul, sekiranya pun saya dikeluarkan dari seminari, saya mempunyai bekal yang jarang dimiliki seperti sekolah-sekolah di luar seminari pada waktu itu. Hal ini diyakinkan dengan banyaknya para mantan seminaris berhasil di Jakarta dan di luar negeri. Semua calon seminaris ditest dalam hal wawancara, pengetahuan umum, IQ dan lain sebagainya.

Pada minggu-minggu seusai testing, saya selau menantikan pengumuan hasil test. Saya rasanya tidak sabar memumggunya. Saya selalu bertanya pada ayah ketika pulang dari kerja di CU di pastoran paroki, apakah pengumuan hasil test sudah datang dari Seminari. Kesabaran pun mulai hilang ditelan waktu. Tiba-tiba pada minggu-minggu setelah penumuman lulusan SMP, pengumuman hasil test masuk Seminari pun disampaikan ayah kepada sya dengan gembira. Saya yakin hasilnya pasti berita baik.


Dugaanku ternyata benar, ayah dan saya sendiri pun sangat senang, bahwa saya diterima dan akan didaftarkan ulang ke Seminari di Pematang Siantar, kota pendidikan Sumatera Utara. Sekolah di Seminari merupakan masa yang menyenangkan. Selain karena cita-cita masuk SMA Seminari Menengah terkabul, saya dapat menikmati berbagai sarana pengembangan bakat dan memperoleh ilmu dan mempelajari bahasa asing. Aku bisa menikmati berbagai macam kegiatan olah raga. Aku bisa mengembangkan bakat menulis dan berpidato. Prestasiku juga cukup bagus, karena dapat memperoleh 6 besar dari tiga kelas tiap angkatan yang ada.


Pendidikan di seminari saya jakani dalam empat tahun, karena tahun pertama merupakan tahun percobaan (probatorium), kemudian memasuki masa seperti kelas-kelas pada SMA umumnya. Pada tahun keempat, tahun terakhir, para seminaris diperkenankan menentukan pilihannya dalam memilih ordo atau kongregasi , tempat pendidikan selanjutnya menjadi imam kelak.


Saya memilih Ordo Karmel. Alasan saya sederhana saja, selain karena persaudaraan dan meditasi yang berkesan bagiku, serta keramahan-keramahan para romo dan frater pastoral waktu itu, juga karena pastor paroki digembalakan oleh para pastor dari Karmelit. Motivasi saya tidak jauh berubah yaitu untuk mendapat ilmu dan belajar banyak bahasa asing serta pengembangan kepribadianku. Aku yakin seandainya saya pun dikeluarkan, aku sudah punya bekal untuk mandiri menjalani hidup sebagai umat Katolik sekaligus sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Soal panggilan hidup bagi saya, tidak saya pikirkan secara sungguh-sungguh. Yang ada dalam pikiranku adalah saya harus belajar banyak untuk mengembangkan diriku.


III. MASA NOVISIAT ( 1995 - 1997)


Dengan alasan ketertarikan persaudaraan, meditasi dan keramahan para biarawan Karmelit, saya diterima masuk novisiat Karmel pada tahun 1995. Saya pun bangga karena bisa mengalami, mendengar, mengamati banyak hal di tempat pendidikan Karmel di Jawa Timur, yang jauh dari tanah kelahiranku, Sumatera Utara. Saya bertemu dengan konfrater yang berasal dari berbagai tempat di Jawa, di samping yang dari Sumut.


Pada masa novisiat, saya mengalami pembinaan ketat dari magister. Ada banyak saat hening, berdoa, koreksi persaudaraan, rekreasi, tidak boleh keluar dari pekarangan biara selama kira-kira 3 bulan pertama. Dalam ruang yang bagaikan “penjara kudus” demikian, saya disadarkan akan hal-hal yang menarik yaitu : suasana hening dan tenang, serta persaudaraan. Yang tidak menariknya adalah tidak boleh berkomunikasi dengan lluar biara, kekeringan dan sempat menimbulkan niat untuk keluar dari biara. Apalagi ditambah dengan magister yang gonta-ganti selama tiga kali saya alami. Saya pernah bimbingan dan mulai goncang serta ragu-ragu, rasanya hidup ini menjadi hampa bila begini terus, tidak berbuat sesuatu yang produktif.


Namun suasana yang variatif dengan kuliah di STFT pada tahun kedua, mengalihkan kekeringan sedikit demi sedikit. Soal panggilan, pendirian saya juga belum begitu mendalam dan murni. Saya berada di biara untuk menjadi pastor, dengan menerima pembinaan. Titik. Belum ada refleksi yang mendarat di batinku. Rasanya semua yang saya terima di novisiat tidak mendara secara mendalam.


Meskipun demikian, hasil voting dari para formator baik terhadap saya, namun dalam diri saya masih belum at home dengan pilihan di biara. Suatu pemikiran untuk keluar dari Karmel dan akan melanjutkan kuliah di Yogyakarta pernah timbul dalam diriku. Namun niat itu, tidak dapat saya wujudkan karena menurut formator pembimbing saya, cobalah dulu bertahan, karena kamu masih kira-kira dua tahun di sini. Suatu saat kamu memahami semua pengalaman di novisiat ini. Hal itu membuat saya bertahan dan dperkenankan mengucapkan kaul perdana pada tanggal 10 Agustus 1997 dan berpindah tempat di Biara Karmel Titus Brandsma di Malang.


IV. MASA DI BIARA TITUS BRANDSMA MALANG (1997 - 2000)


Jenjang baru dalam hidup membiara saya masuki.. Kehidupan biara di biara Titus Brandsma agak berbeda dengan masa novisiat di Batu. Kebebasan dalam banyak hal lebih longgar, seperti berkomunikasi dengan umat atau luar biara lebih banyak. Kegiatan di luar biara sudah ditentukan bagi setiap frater. Demikian pula, kegiatan kuliah di STFT berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Keduanya baik biara maupun kampus, mensyaratkan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi.


Di tengah kesibukan demikian, kadang-kadang ada saatnya saya bosan dan kadang senang. Saya berpendirian bahwa frater harus menjalankan segala acara biara dan pemenuhan tuntutan STFT secara baik. Kebosanan muncul karena saya tidak menikmati dan merefleksikan segala pengalaman atau acara rumah dan STFT. Itulah sebabnya kegelisahan selalu meliputi diriku. Mengapa saya bosan dan gelisah ? Pertanyaan ini selalu kujawab dalam buku harianku.

Jawabannya selalu karena saya tidak at home dengan diriku dan segala kegelisahannya. Saya merasa tidak terlibat atau kurang mendapat perhatian tentang hal panggilanku, bahkan seperti tidak diorangkan di biara. Bila saya renungkan .... saya tidak merasa at home dan tidak terlibat dengan kehidupan di biara itu karena afeksi dasar saya belum terpenuhi dan tergarap.Afeksi itu adalah perasaan takut ditolak, tidak diperhitungkan, merasa tidak diorangkan.


Saya kadang berpikir... semuanya akan berlalu begitu saja. Itulah jalan penghiburan bagi saya untuk mengobati kegelisahan dan ketidak-at-home-an saya. Meskipun tidak athome dan masih gelisah selama kurang lebih tiga tahun, saya dapat menyelesaikan dan memenuhi tuntutan rumah dan STFT. Hal ini terbukti dari pengujian waktu dan penilaian para formator.
Tentu semuanya karena niat saya mau menjadi pastor masih ada dan patut diperhitungkan. Akhirnya, saya diperkenankan memasuki masa tahun berpastoral.


V. MASA TAHUN BERPASTORAL (2000 - 2001)


Bekal dari STFT menjadi bekal untuk saya dalam melakukan kegiatan pastoral sebagai bentuk kuliah kerja nyata. Meskipun ada bekal dari STFT, kekwatiran-kekwatiran muncul dalam diriku. Apakah saya sanggup dan pantas menjadi pelaksana tugas pastoral ? Apakah saya akan diterima oleh umat nantinya ? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul akibat dari afeksi dasar saya yang masih belum tergarap dengan baik. Takut tidak diterima dan takut dipermalukan itulah yang menjadi dasar kekwatiranku. Meskipun persoalan tersebut meliputi diriku, masa berpastoral tetap saya jalani dengan berangkat ke sebuah paroki, Perdagangan di Sumut.


Pada bulan-bulan awal, saya hanya bisa mengamati dan mempelajari kegiatan-kegiatan pastoral yang sedang berlangsung di paroki tersebut.Namun saya tidak selamanya hanya menjadi pengamat. Dengan berani saya meminta sebuah stasi semacam proyek khusus untuk berpastoral, di samping harus melakukan pelayanan sabda juga ke stasi-stasi maupun stasi paroki pusat. Di stasi khusus yang diberikan pastor paroki menjadi semacam proyek, saya berinisiatif mengembangkan kehidupan rohani umat baik ASMIKA, MUDIKA dan umat secara keseluruhan. Saya mengajukan program yang saya buat semampu saya. Kehidupan masa pastoral pun dapat saya laksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati STFT dengan pastor paroki.


Di tengah rutinitas kegiatan berpastoral, saya menyediakan waktu untuk berrefleksi tentang segala hal yang saya lakukan. Khususnya segala hal yang berkaitan dengan panggilan hidup yang sedang saya jalani. Saya merenung seusai perayaan Ekaristi atau sesudah ibadat bersama dengan anggota komunitas pastoran paroki. Hasil refleksi menunjukkan bahwa kekwatiran saya sebelum terjun berpastoral selama ini terlalu cepat ditakutkan, padahal tidak demikian. Semua yang ditugaskan, dapat saya pertanggungjawabkan. Memang ada tantangan dan hambatan baik berasal dari dalam diri maupun dari luar diri saya yaitu afeksi dasar dan ketidakcocokan dengan esebagian umat.. Menyadari bahwa kekwatiran dan kegelisahan (baca : afeksi dasar), saya seringkali merasa malu dan takut (demam panggung) setiap kali sebelum tampil membawakan kothbah maupun memimpin retret. Ketakutan-ketakutan ini membuat saya gelisah. Meskipun takut dan gelisah, tetapi saya tidak berhenti di situ. Saya tetap melaksanakan tugas dan peran yang harus saya penuhi. Pada akhirnya saya merasa lega karena dapat melaksanakan dengan cukup baik menurut saya.


Akhirnya, seluruh tuntutan masa berpastoral dapat saya penuhi sesuai dengan peraturan yang ada. Hal yang membuat saya bertahan adlalah adanya niat untuk menjadi pastor di dalam diri saya. Meskipun motivasinya tidak saya garap secara mendalam apakah sudah murni (ideal) atau tidak. Mungkin itulah yang membuat saya tetap mempunyai kegelisahan dan tidak at home dengan diri saya. Niat menjadi pastor menggerakkan saya untuk melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan diri saya serta kuliah selanjutnya (program magister di STFT).

VI. MASA PERSIAPAN KAUL KEKAL (2001 - SEKARANG)


Masa tahun berpastoral akhirnya selesai dan dinyatakan lulus. Saya senang karena peluang besar dari niat untuk menjadi pastor dalam diri saya mungkin akan terkabulkan. Pada akhir bulan Juni menjelang awal bulan Juli, saya harus pulang ke rumah pendidikan di Malang. Saya bersama konfrater seangkatan berpastoral, berangkat menuju rumah pendidikan baru, yaitu rumah pendidikan di Talang 5. Saya mempunyai kekwatiran pula dengan tempat baru dan jenjang baru.


Namun di tempat baru, tempat masa persiapan kaul kekal, saya menemukan suasana relaks, santai, dewasa, bertanggung jawab ditambah lagi dengan prior baru yang baru pulang dari Pilipina. Persiapan kaul kekal diawali dengan program retret tahunan yang wajib bagi setiap kaum religius. Saya bersama konfrater post-pastoral digabungkan dengan para konfrater pra-pastoral untuk mengadakan retret di Tumpang, Ngadireso. Retret yang dibimbing oleh prior baru Talang 5, sungguh berkesan dan membuka wawasan baru baik bagi frater post-pastoral maupun bagi pra-pastoral. Hal ini terungkap dari kesan dan pesan para frater seusai retret. Retret kali ini sungguh menyadarkan semua frater akan pentingnya penggarapan dan refleksi tentang pengaruh pengalaman hidup masa lampau dalam kaitannya dengan perkembangan panggilan hidup masa sekarang.


Bagi saya pribadi, retret tersebut merupakan retret yang paling menyentuh dan mendarat dalam diri saya. Tema retret tersebut adalah mengenai refleksi pengalaman masa lampau yang mempunyai kaitan dengan hidup panggila pada masa kini. Di sinilah, mata hati dan pikiranku melihat mengapa kelemahan yaitu penakut dan peminder masih tetap bercokol dalam diri saya. Kelemahan saya tersebut menunjukkan adanya afeksi dasar yang seringkali sadar atau tidak membuat saya takut dan minder.. Hal inilah yang menuntut penggarapan secara sehat. Menurut romo pembimbing pada waktu itu, afeksi dasar terjadi karena adanya luka batin, cacat pusaka atau perbudakan masa lampau dalam diri setiap orang. Afeksi dasar ini bersifat instinctive unconscious.Sekarang tujuan yang mau dicapai adalah penyadran akan afeksi dasar yang terungkap dalam kebutuhan-kebutuhan egoistis. Dengan kata lain setiap orang harus melakukan pembebasan dari masa perbudakan masa lampau. Tema retret tersebut, hingga sekarang masih relevan dan bahan refleksi untuk saya.

Refleksi saya menunjukkan bahwa afeksi dasar saya adalah takut ditolak, takut dipermalukan dan takut diejek. Penemuan afeksi dasar ini berlangsung lama, berawal dari retret awla persiapan kaul kekal hingga sekarang semakin jelas. Singkatnya, retret awal tersebut menjadi titik berangkat menuju perkembangan yang cepat menuju persiapan kaul kekal dengan rekoleksi pada bulan-bulan selanjutnya. Program rekoleksi pada bulan-bulan berikutnya, merupakan lanjutan dari tema retret awal tersebut. Rekoleksi bulan tersebut membuat saya semakin mengerti dan mengenal diri saya. Hal. Ini didukung dengan sangat relevannya tema-tema dalam rekoleksi bulanan selanjutnya.


Tema-tema tersebut berkisar tentang integritas diri personal yaitu tentang biopsikososiospiritual. Tema-tema tersebut adalah : social self dan keluarga, kemurnian dan seksualitas, personal self dan woundedness, ketaatan, transcendent self, persahabatan dan kemiskinan. Rekoleksi bulanan tersebut sangat menyentuh dan menyenangkan karena metodenya bersifat aktif-partisipatif dan dengan tempat rekoleksi yang bervariasi. pula. Dengan persiapan kaul kekal tersebut, hingga kini, saya semakin mengenal diriku. Aku menyadari adanya dua sisi dalam diriku, yaitu sisi gelap dan terang. Sisi gelap saya adalah takut ditolak, dan kehidupan seksual yang menggebu-gebu. Sisi terangnya adalah segala yang saya miliki yang kelak bisa saya sumbangkan demi pembangunan Gereja dan penyelamatan dunia. Motivasi awal untuk menjadi imam, perlu direfleksikan dan dipikir ulang.


Akhirnya saya melihat bahwa motivasi saya pelan-pelan berubah menjadi : mau menjadi imam bukan untuk pemenuhan egoistis saya tetapi mau hidup mengikuti Kristus secara khusus dan mengambil bagian dalam visi dan misi Kristus yaitu membangun Kerajaan Allah, melayani Gereja dan demi penyelamatan dunia. Dengan persiapan kaul kekal, saya semakin yakin dan tidak menyesal masuk menjadi calon imam yang hidup secara Karmelit. Alasannya, semangat hidup Karmelit sangat tepat karena semangat hidup kontemplatifnya sangat relevan dan penting karena akan membuahkan madu-madu rohani kehidupan yang bermutu di samping membuahkan pelayanan pastoral umat yang bermutu dan mendalam.

Akhirnya saya menyimpulkan, bahwa Tuhan Yesus Kristus menjaga dan memelihara beinh panggilan yang ada dalam diriku. Satu yang belum saya dapatkan adalah pengalaman akan Allah yang sungguh-sungguh mengubah dan menggerakkan dinamika hidup panggilanku untuk seumur hidup. Tuhan berilah aku pengalaman akan Dikau. Amin.


.......bersambung hingga aku keluar dari frater pada tanggal 13 Juli 2003


cerita bagaimana saya keluar dari diakon Karmelit akan kukisahkan lagi....

Wednesday, April 26, 2006

SIAPAKAH AKU?


SIAPAKAH AKU?

Keluarga

Saya lahir pada tanggal 09 Agustus 1975 di Barisan Gereja, tepatnya jalan Tigabaru-tigalingga desa Bukit Tinggi, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Sidikalang-Dairi, dari pasangan Sahat Halomoan Simbolon (+ 2003) dan Kamaria boru Naibaho. Saya anak kedua dari 8 bersaudara. Kami terdiri dari 7 cowok dan 1 cewek.


Kami berdelapan adalah:

  • Marolop Martinus Simbolon, Siborong-borong, Sumut (sudah berkeluarga)
  • Pormadi Paternus Simbolon (Jakarta)
  • Johannes Kombinasi Simbolon (Medan) (sudah berkeluarga)
  • Parlindungan Petrus Simbolon (Siborong-borong)
  • Marasi Korban Simbolon (Barisan Gereja)
  • Rimpuan Hadrianus Simbolon (Barisan Gereja)
  • Kristina Natalia boru Simbolon (Medan)
  • Altur Simbolon (Barisan Gereja)

Ekonomi keluargaku adalah ekonomi pas-pasan. Maklum ayah ibu saya hanyalah bermata pencaharian dari pertanian, seperti kopi, jagung, vanille, kacang tanah, durian, dan tanaman lainnya. Kedua orang tua kami berusaha menyekolahkan kami setinggi mereka mampu.

Kedua orang tua sangat mencintai kami dan mendidik kami dalam lingkungan beriman Katolik. Keluarga kami hidup damai dan religius. Sebab ayah kami adalah pengurus gereja dan ibu kami adalah aktivis di Gereja kampung kami.

Semasa kecil, kami cowok bertujuh sering berantem, namun hingga sekarang persaudaraan kami tetap erat dan sejati. Falsafah Batak yaitu “Dalihan Na Tolu” (Tungku Nan Tiga) tetap mendarah daging dalam hidup kami.

Pendidikan

Sekolah Dasar atau SD (1981-1988)
Saya mengecap pendidikan dasar di SD Negeri Inpres Parsiroan, desa Bukit Tinggi. Setiap hari saya harus jalan kaki pergi-pulang sepanjang 3 kilometer. Masa ini merupakan masa indah dan penuh permainan dengan teman-teman sebaya di rumah, sekolah dan gereja.

Sekolah Menengah Pertama atau SMP (1988-1991)
Pendidikan SMP saya jalani di SMP Katolik Santo Paulus Sidikalang. Sejak tamat SD saya mengikuti abang / kakak saya melanjutkan pendidikan di Sidikalang. Saya dengan kakak tinggal di Asrama Putera Katolik di ibu kota kabupaten Dariri tersebut. Masa SMP juga merupakan masa indah bagiku. Maklumlah... masa puber... dan juga sering kali mengalami jatuh cinta monyet.

Menjelang tahun kelulusan, saya mendapat pengumunan test untuk masuk sekolah calon pastor dari pastor paroki saya. Saya mendaftar dan memenuhi urusan administrasi. Test diadakan tiga gelombang. Tiap gelombang ternya diikuti ratusan orang. Saya sudah sempat ragu bahwa saya tidak dapat bersaing dengan teman-teman yang berasal dari seluruh penjuru kota Sumatera Utara yang mengikuti test. Testnya mulai dari pengetahuan umum, bahasa Indonesia, Matematika, Inggeris, psikologi, wawancara dan test IQ.

Namun setelah mengikuti test, ternya saya lulus dengan hasil test yang memuaskan dan akhirnya niat saya untuk menjalani pendidikan SMA terkabul. Syukur Kepada Allah. Hatiku amat senang. Keluargaku juga bangga.... Sebab abangku dulu pernah ikut test, namun gagal. Setelah tiga tahun, saya dapat menamatkan pendidikan SMP dengan hasil cukup memuaskan.

Sekolah Menenah Umum atau SMA/SMU (1991-1995)

Pada tahun 1991, saya berniat melanjutkan pendidikan SMA di SMA (Katolik) Seminari Menengah, di kota Pematang Siantar, kota terbesar kedua setelah Medan di SUMUT. Selama masa SMA dari tahun 1991 –1995, pendidikanku berhasil memuaskan, bahkan selalu berada pada peringkat 5 besar umum dari tiga kelas angkatan saya. SMA (Katolik) Seminari Menengah Pematang Siantar adalah sekolah khusus SMA yang mempunyai program khusus di luar program pendidikan seperti SMA umum lainnya. Kekhususannya terletak pada pembentukan kepribadian dan pembinaan para calon pastor/ imam di Gereja Katolik. Jadi saya menyadari hal ini bahwa saya dididik sebagai calon pastor, meskipun dalam hati nurani bertentangan dengan pilihan saya. Namun dalam batinku, aku sebagai anggota umat Katolik, mau dan berhak mendapat ilmu dan pendidikan Katolik yang mutunya lebih baik dibangikan dengan sekolah-sekolah Katolik di luar itu.

Masa SMA saya jalani selama 4 tahun. Itu disebabkan karena Seminari tersebut adalah sekolah kusus bagi para calon pastor. Tahun pertama merupakan tahun percobaan dengan program pendidikan selain pendalaman pelajaran Bahasa Inggeris, Bahasa Latin, Pendidikan Disiplin dan Kepribadian, pendidikan rohani/ agama, tetapi juga pendalaman pendidikan dari SMP dan kegiatan Olah Raga

*****

Monday, April 17, 2006

Ungkapan Hati Mantan Frater (2)

Ungkapan Hati Mantan Frater (2)

Saya sedih membaca kesimpulan Yoseph Pati Mudaj dalam menanggapi “Ungkapan Hati Frater (1)” (Hidup Edisi 24 Januari 2005). Ia menyimpulkan kurang lebih bahwa para mantan yang mengungkapkan isi hatinya adalah persoalan antar oknum dan bukan dalam hubungannya dengan anggota komunitas biara/ seminari.

Namun saya coba memahami tanggapan tersebut dengan baik. Saya tidak tahu apakah anda (Yoeph P.M.) sedang memilih jalan hidup bakti/ biarawan atau jalan hidup awam. Mungkin anda perlu memahami lebih dalam lagi kenyataan yang sebenarnya.

Sebutan “OKNUM” oleh Yoseph Pati Mudaj merupakan pemojokan atau pe-redusir-an arti penting peran para mantan dalam Gereja terlepas dari aneka alasan yang menyebabkan mereka menjadi mantan atau gagal dalam biara/ seminari terlebih kepada mereka yang keluar karena “aib”.

Boleh-boleh saja orang mencap para mantan “gagal atau tidak berhasil berjuang” di dalam biara, namun yang jelas mereka yang mantan sudah menemukan jalannya yang benar atau kembali ke jalannya yang normal. Mereka merasa lebih baik memutuskan memilih jalan lain di luar biara daripada menjadi “virus pembusukan” di dalam biara/ seminari.

Ada beberapa pertanyaan reflektif yang penting diketahui: apakah dengan “gagalnya” para mantan di biara/ seminari berarti mereka seenaknya saja disebut oknum?; apakah dengan kegagalannya di dalam biara atau sukses/gagal di luar biara, mereka harus “diasingkan atau dibuang”?

Barangkali, lebih banyak lagi oknum (kalau sepakat pada sebutan yang sama) terselubung dan tertutupi oleh jubah indah serta ngotot mempertahankan diri dalam biara/ seminari karena “takut” memilih jalan lain(?) Yang lebih memprihatinkan lagi, berapa banyak oknum tersebut mengelabui dan mengecewakan banyak umat yang dilayaninya? Semoga ini menjadi perenungan bersama. Terima kasih.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud menyinggung perasaan siapapun/ pihak mana pun, selain hanya sebagai ungkapan hati manta frater. Ada kata-kata bijak, hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Biarpun jalan hidup yang kita pilih berbeda, entah dengan menjadi awam atau dalam jajaran hidup bakti, namun semuanya baik dan indah. Mari kita bekerja bersama-sama dan memberi pengabdian sejati dalam menjadi garam dan terang dunia dan membangun Gereja tercinta.

Permadi Simbolon

UNGKAPAN HATI MANTAN FRATER, MASIH DIPANDANG SEBAGAI ASET GEREJA?

UNGKAPAN HATI MANTAN FRATER, MASIH DIPANDANG SEBAGAI ASET GEREJA?

Ketika saya sudah menjadi mantan frater, saya bertemu dengan teman-teman yang menjadi mantan room/ frater/ suster di ibukota, Jakarta. Pada umumnya mereka merasa “dibuang” atau dipandang sebelah mata oleh teman yang menjadi bagian dari hidup mereka ketika dulu masih bersama di dalam biara/ rumah. Saya terkejut dan prihatin, apakah mereke/ kami masih diakui eksistensi kami di Gereja? Bukankah kami bisa menjadi aset Gereja ketika berkarya di tengah masyarakat?

Tidak sedikit para mantan keluar dari rumah pendidikan atau biara secara baik-baik. Artinya mereka mengundurkan diri secara sopan. Dengan kata lain ‘permisi’ kepada pimpinannya, sebelum meninggalan “keromoannya, kefraterannya, kebruderannya, atau kesusterannya”.

Kami/ mereka seringkali dipandang sebelah mata ketika bertemu dengan para romo/ suster di paroki mereka berada. Kalau romonya sudah memandang dengan sebelah mata, biasanya umat juga memandang sebelah mata.

Lain lagi, kasus seorang teman yang sudah dua tahun menjadi mantan frater, dia mengaku tidak dianggap orang ketika ingin temu kangen dengan para teman seangkatan ketika masih di Seminari Tinggi. Malahan teman yang sudah menjadi romo, mengernyitkan kening/ dahi didatangi mantan temannya.

MEMANG, tidak semua teman, kongregasi, ordo, tareka yang memandang sebelah mata para “saudara” mereka yang sudah menjadi mantan. Ada satu tarekat sejauh saya tahu, yang measih memperhatikan atau masih menganggap anggotanya sebagai “saudara”. Tarekat tersebut, memberikan tawaran pekerjaan atau sutdi karena memiliki daya intelektual yang cukup, meskipun diketahui seseorang itu akan keluar dari tareka.

Perhatian tersebut menjadi kekuatan baru untuk bisa mengabdi Gereja dengan kembali menjadi “awam” di tengah umat. Mereka yang diperhatikan tersebut bisa berkarya dengan menjadi garam dan terang dunia, serta menjadi tokoh awam penting yang disegani dan dibutuhkan umat. Barangkali sebagai contah tak usah disebut di sini.

Para mantan/ kami di luar tareka tersebut, memang tidak meminta untuk dicarikan pekerjaan/ atau distudikan, mungkin karena memiliki kemampuan intelektual. Kami hanya mau dipandang sebagai orang, atau bagian dari Gereja. Sekurang-kurangnya dianggap sebagai orang yang masih bisa mengabdi Gereja dengan cara berbeda.

Barangkali, citra para mantan identik dengan skandal, kasus negatif, pembangkang dan parasit yang mengelabui mata para atau cara pandang para teman kami yang masih dalam biara atau di dalam hirarki terhadap semua mantan. Tetapi apakah semua para mantan menjadi mantan karena citra negatif tersebut? TIDAK. Kebanyakan para mantan mengaku bahwa ke-keluar-an mereka dari biara adalah karena sudah menemukan jalan yang tepat dan berdaasar atas suka rela dan bebas, dan tidak mau memaksa diri di dalam. Mereka tidak mau tertekan batin di dalam rumah lama mereka.

Setelah di luar, para mantan memang merasakan beratnya perjuangan memulai hidup baru. Ada yang luntang-lantung ke sana ke mari mencari pekerjaan. Bahkan ada yang diperlakukan tidak manusiawi ketika mencoba melamar pekerjaan. Namun, yang lebih pahit adalah ketika mereka ditolak oleh para “saudara” yang makan dan minum semeja dan tidur se rumah.

Perjalanan pahit tersebut menjadi cambuk dan menguatkan iman untuk mengabdi Gereja di tengah masyarakat. Namun, mereka sering kali mereka tidak dianggap lagi atau dipandang sebelah mata. Sebenarnya, bukankah para mantan bisa menjadi aset/ tokoh Gereja yang menjadi garam dan terang dunia dengan bekal pendidikan filsafat dan teologi serta pendidikan kepribadian yang diperolehnya?

Tulisan seorang mantan frater

Tuesday, April 11, 2006

Mencari Inspirasi Follow-Up

hari ini, Selasa, 11 April 2006

Inspirasi atau ilham untuk menulis suatu tema atau topik kadang sulit dicari atau didapat. Namun kalau kita menyediakan sedikit waktu untuk mengheningkan diri, membuka-buka buku, koran atau majalah maka inspirasi akan bermunculan.

Tiga hari yang lalu hingga hari ini kucoba mencari inspirasi, namun belum kutemukan. Tetapi pada hari ini kucoba mengheningkan diri sejenak dan membaca koran, buku dan majalah di kantorku ternyata inspirasi itu muncul.

Inspirasi itu perlu dicatat dan dengan diolah dengan segera agar tidak cepat lupa.

Segitu dulu catatan harianku hari ini.

my photos


A part of my family

A part of my family