Selamat Datang!

Salam Blog ini berisi pengalaman atau perjalanan dimana kami terlibat atau ikut serta ketika ada acara di kantor atau acara sekitar keluarga. Hanya berbagai saja, barang kali ada manfaatnya bagi pembaca. Trimakasih GBU

Thursday, August 10, 2006

BUNDA MARIA DALAM KALENDER KATOLIK

BUNDA MARIA
DALAM KALENDER LITURGI KATOLIK

Oleh: Kasmirus Jumat, SMM*
(Dikutip dari Majalah Liturgi- Sumber dan Puncak Kehidupan Vol 17 – 2006, Mei – Juni) – Penerbit Komisi Liturgi KWI)

Penghormatan kepada Bunda Maria pada dasarnya sudah ada sejak zaman Gereja Perdana. Namun, karena suasana penganiayaan dan perlawanan yang kuta terhadap penyebaran agama Kristen pada masa itu tidak memungkinkan umat Gereja Perdana untuk memberikan penghormatan, seperti yang kita adakan dewasa ini. Namun, bagaimanapun juga, penghormatan kepada Bunda Maria sudah ada dalam liturgu, bahkan sejak sebelum Konsili Efesus.

Kita tahu bahwa para penulis besar dari abad pertama seperti St. Ignatius dari Antiokhia, St. Yustinus Martir, St. Ireneus, dan lain-lain telah menulis dan mengakui bahwa Maria adalah Perawan dan Bunda Allah. Setelah Konsili Nicea (325 CE), tulisan-tulisan tentang Bunda Maria semakin bekembang, bukan hanya di Gereja Timur melainkan jugadi Gereja Barat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kontroversi tentang Kristus sebagai Allah yang secara tidak langsung berhubungan dengan Maria sebagai Bunda Allah.

Perkembangan akan cinta dan devosi kepada Kristus dan BundaNya memberikan Maria tempat yang istimewa dalam liturgi dan dalam hal ini semakin nyata setelah Konsili Efesus. Namun kapan persisnya devosi kepada Maria dimasukkan dalam liturgi Gereja, tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dalam makalah ini, kami hanya membatasi pada perayaan-perayaan Maria dalam Liturgi Gereja Katolik Roma serta asal usul perayaan tersebut. Berbagai perayaan Maria dirayakan secara universal dan dicantumkan secara resmi dalam kalender Liturgi Gereja Katolik Roma. Perayaan-perayaan itu dibeda-bedakan sesuai tingkatnya, ada setingkat Hari Raya (Sollemnitas), Hari Pesta (Festum), dan Peringatan (Memoria). Hari-hari peringatan pun dibagi dalam kategori wajib, fakultatif, dan peringatan khusus.

Perayaan-perayaan yang setingkat Hari Raya (Sollemnitas)
Perayaan-perayaan setingkat Hari Raya (Sollemnitas) dirayakan seperti hari Minggu. Dalam ibadat Harian (Officium Diffinum), perayaan pada tingkat ini dimulai pada sore hari sebelum hari raya yang bersangkutan, yang dikenal dengan istilah Ibadat Sore Pertama. Dengan demikian, perayaan Ekaristi yang diadakan sore hari ini dapat menggantikan misa pada hari berikutnya.
Dalam Kalender Liturgi Gereja Katolik, terdapat empat perayaan Maria yang setingkat hari Raya.

1. Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah
Perayaan ini dirayakan pada tanggal 1 Januari. Pengakuan akan kebundaallahan Maria merupakan unsur sentral dalam penghormatan umat Katolik terhadap Bunda Maria. Dasar pengakuan ini terutama Kitab Suci yang menyebutkan bahwa Yesus dilahirkan dari Santa Perawan Maria. Kalau kita mengakui Yesus sebagai Allah, maka kita pun mengakui Maria sebagai Bunda Allah.

Sekitar tahun 430, Nestorius memberikan ajaran bahwa Maria hanyalah Christotokos dan bukannya Theotokos. Dengan memberi gelar Christotokos, Nestorius mau mengatakan bahwa Yesus itu hanyalah Kristus, manusia yang terurapi dan bukan Allah. Dengan demikian, Maria hanyalah Bunda Kristus dan bukannya Bunda Allah. Ajaran sesat Nestorius terkenal dengan sebutan Nestorianisme. Aliran Nestorianisme ditentang keras oleh Konsili Efesus (431). Konsili menegaskan bahwa Maria itu Bunda Allah, Theotokos, karena dia melahirkan Allah.

2. Hari Raya Kabar Sukacita
Dasar biblis perayaan ini adalah kunjungan Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria (Luk 1:26-38). Dalam kunjungan itu Malaikat Allah meminta kesediaan Maria untuk menjadi ibu bagi Putera Allah yang Mahatinggi. Peristiwa ini menjadi awal sejarah kekristenan dan atas kesediaan Maria, maka Allah menjelma menjadi manusia.
Santo Louis-Marie de Monfort (1673-1716) mengatakan bahwa Hari Raya Kabar Sukacita merupakan cikal bakal kehadiran Gereja. Bertitik tolak dari ajaran yang mengatakan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus dalamnya Yesus berperan sebagai kepalanya, St. Monfort berpandangan bahwa seorang ibu tidak mungkin hanya mengandung kepala tanpa tubuh.

Dengan demikian, penyerahan Gereja kepada Bunda maria, bukan dimulai pada peristiwa di kaki salib ketika murid yang dikasihi Yesus diserahkan kepada Maria dan sebaliknya (Yoh 19:25-27), melainkan pada saat Maria dipercayakan untuk mengandung Putera Allah (Luk1:28-38). Pesta ini dirayakan pada tanggal 25 Maret, tepat sembilan bulan sebelum kelahiran Yesus (Perayaan natal).

3. Hari Raya Santa Perawan Diangkat ke Surga
Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 Agustus, berdasarkan dogma yang dikeluarkan oleh Pius XII tanggal 15 agustus 1950. Ini merupakan dogma yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Keyakinan dan khotbah-khotbah tentang pengangkatan Bunda Maria ke surga sudah dimulai sejak abad ke-6. Namun sebagai dogma, baru dipromulgasikan oleh Paus Pius XII.

Gereja meyakini bahwa Bunda Maria, yang secara istimewa dipersiapkan Allah menjadi tempat kediaman PuteraNya, yang telah menjalani hidup dengan kesucian yang luar biasa, pada akhir hidupnya pasti mendapatkan keistimewaan dari Allah. Kalau sekedar mengatakan bahwa Maria dikandung secara istimewa, menjalani hidup secara istimewa dan mendapatkan pahala abadi secara istimewa, sebenarnya tidak mengalami kesulitan. Tetapi yang menjadi kontroversi adalah pernyataan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Surga bukanlah locus, jadi bagaimana mungkin ada tempat untuk badan yang berbentuk materi?
Ajaran yang mengatakan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan badan merupakan suatu ungkapan dan keyakinan iman. Manusia kehabisan kata-kata untuk bisa menjelaskan dan mengungkapkan penghormatan dan penghargaannya atas keistimewaan Maria itu.

4. Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda
Perayaan ini jatuh pada tanggal 8 Desember karena berdasarkan pada dogma yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX tanggal 8 Desember 1854. Dikatakan bahwa Bunda Maria sejak dikandung ibunya, tidak ternoda oleh dosa asal. Hal ini merupakan berkat rahmat dan keistimewaan yang secara khusus diberikan Allah karena dia dipersiapkan untuk menyambut Sabda Allah yang menjelma.
Dalam Bula Ineffabilis Deus Paus Pius IX mendefinisikan dogma Maria dikandung Tanpa Noda demikian:
“Santa Perawan maria, sejak saat pertama ia dikandung, oleh rahmat dan karunia yang istimewa dari Allah yang Mahakuasa, demi jasa-jasa Yesus Kristus, penyelamat bangsa manusia, tetap terjaga, luput dari segala noda dosa asal”.
Gereja percaya bahwa Allah menyiapkan suatu wadah yang pantas, yang khusus dan tak bercela. Suatu tempat yang layak bagi kediaman PuteraNya. Dan Marialah yang dipilih Allah untuk menjadi wadah tersebut, sehingga sejak dikandung, Maria tidak terjangkit dosa asal.

Perayaan-Perayaan yang setingkat Hari Raya (Festum)

1. Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elizabeth
Pesta ini dirayakan untuk mengenang kunjungan Maria kepada saudaranya Elizabeth di Ain Karim. Ain Karim adalah sebuah kota di Yehuda (di sebelah barat Yerusalem) yang berjarak kira-kira 10 km dari Yerusalem dan menurut tradisi merupakan tempat tinggal keluarga Imam Zakaria. Maria tinggal di sana selama tiga bulan (bdk. Luk 1:39-56). Pesta ini dirayakan tanggal 31 Mei.

2. Pesta kelahiran Santa Perawan Maria
Kita tidak mempunyai informasi biblis dan historis tentang kapan dan di mana Bunda Maria dilahirkan. Penyebutan nama Yoakim dan Ana sebagai orangtuanya pun hanyalah berdasarkan tradisi dan Injil Apokrief (Apokrief adalah buku-buku yang sering kali penuh legenda dan merupakan jiplakan dari kitab-kitab asli yang termasuk Kitab Suci, biasanya dibubuhi nama seorang tokoh Perjanjian Lama atau seorang Rasul sebagai pengarangnya).

Perayan ini berawal dari tradisi Gereja Timur dan mulai berkembang di Gereja Barat sejak abad kelima. Hari kelahiran Bunda Maria dirayakan Gereja Katolik tanggal 8 Sepetember.

Perayaan-Perayaan yang setingkat Peringatan (Memoria)

1. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Ratu
Setelah diangkat ke surga dengan jiwa dan badannya, Bunda Maria dinobatkan sebagai Ratu. Peringatan ini dirayakan tujuh hari setelah Hari Raya Bunda Maria diangkat ke Surga, yaitu tanggal 22 Agustus. Apakah Bala malaikat di surga memerlukan tujuh waktu hari untuk mempersiapkan upacara penobatan Maria sebagai Ratu? Ini juga merupakan ungkapan iman yang tidak bisa lagi dijelaskan secara logis dan kronologis. Gereja kehabisan kosa kata untuk mengungkapkan penghargaannya atas keistimewaan Bunda Maria.

2. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Berdukacita
Kehidupan Bunda Maria tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Yesus. Setelah merayakan Pesta Salib Suci, Gereja memperingati kedukaan Maria yang antara lain karena penyaliban Puteranya. Maka peringatan ini dirayakan tanggal 15 September. Peringatan ini mulai dirayakan tahun 1668 dan ditetapkan sebagai perayaan untuk seluruh Gereja oleh Paus Pius VII tahun 1814 untuk mengenang penderitaan yang dialaminya dalam masa pembuangan di Prancis.
Peringatan Bunda Maria Berdukacita dikenal juga “Tujuh Kedukaan Maria”. Ada begitu banyak kejadian dalam kehidupan Bunda Maria yang menggambarkan penderitaannya, namun Gereja menyebut tujuh yang lazim, yaitu nubuat Simeon tentang suatu pedang yang akan menembus jiwanya, pengungsian ke Mesir, Yesus hilang di Bait Allah pada umur 12 tahun, Yesus ditangkap dan diadili, Yesus disalibkan dan wafat, Yesus diturunkan dari salib dan Yesus dimakamkan.

3. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Ratu Rosario
Pada abad-abad pertama, peringatan maria selalu dikaitkan dengan kehidupan Bunda Maria, namun sejak abad ke-12 Gereja menambah perayaan Maria yang berkaitan dengan kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupan menggereja. Misalnya Peringatan “Maria Ratu Rosario’ yang jatuh pada tanggal 7 Oktober. Peringatan ini dirayakan untuk mengenang kemenangan pasukan Katolik dalam perang Lepanto pada abad 15. Kemenangan ini diyakini karena umat berdoa rosario. Tahun 1571 Paus Pius V menetapkan peringatan ini sebagai perayaan syukur dan tahun 1716 Paus Clement XI menetapkannya sebagai perayaan untuk seluruh Gereja.

4. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Dipersembahkan kepada Allah

Persembahan Maria ke Kenisah juga tidak mempunyai informasi biblis, selain bersumber pada tradisi Injil Apokrief. Dalam hal ini Gereja boleh mengakui keunggulan Al Quran yang memberikan informasi agak yang agak memadai tentang masa kecil Maria (bdk. Q 4 atau Sura Al Imran dan Q19 atau Sura Al Maryam), termasuk persembahannya ke Kenisah. Peringatan Santa Perawan Maria dipersembahkan kepada Allah ini berawal dari tahun 543 untuk mengenang pemberkatan Gereja Bunda Maria di Yerusalem. Tahun 1585 perayaan ini dimasukkan dalam Kalender Liturgi Gereja Barat dan sekarang dirayakan sebagai pengakuan akan Bunda Maria yang merupakan kenisah di mana Allah (Putera) berdiam. Gereja merayakan peringatan ini tanggal 21 November.

Masih ada banyak peringatan lain yang dirayakan dalam liturgi Gereja Katolik baik yang bersifat fakultatif maupun secara khusus dirayakan oleh kelompok atau tarekat religius tertentu.
* Kasmirus Jumat, SMM, Imam biarawan Serikat Maria Monfortan, Studi Teologi Dogmatik, khususnya memperdalam Mariologi di Universitas Santo Thomas, Manila- Filipina

MY CURRICULUM VITAE

MY TRULY STORY

My name is PORMADI PATERNUS SIMBOLON, born on 09.08.1975 at PARSIROAN, a village in the parish of TIGALINGGA, arcdiocese of Medan, North Sumatra, Indonesia.

I’ve been born in a reallyy cahtolic family of farmers, of a sufficient economic condition. I received my first education at home from my birth untill 1988. At the age of 13 years I left my village and went to SIDIKALANG, where I lived at a boardinghouse of the parish of the town and studied at the junior high school there for three years (1988-1991).

Then I went ti the Minor Seminary at PEMATANG SIANTAR for the following four years (senior high school) from 1991-1995. There I asked to enter the novitiate of the Carnelites at Batu (East Java). I was accepted and entered there officially on 31 August 1995. There, too after two years of novitiate I made my first religious profession in the Order of Carmel at 10 August 1997. My solemn profession in the same Order I made at 15 August 2002 in the parish church of Sacred Heart in Malang, and on 27 February 2003 I was ordained deacon at the Cathedral of Malang.

I made my higher studies of Philosophy and Theology and got my degree of baccalaureate at the SCHOOL OF PHILOSOPHY AND THEOLOGY “WIDYA SASANA”, Jalan Terusan Rajabasa 2, MALANG. But after having finished my studies being a deacon solemly professed in the Indonesian Province of The Order of Our Lady of Mount Carmel, I left the Order. After being ordained deacon I’ve exercised for several months the office of deacon at the parish of KEPANJEN, diocese of Malang.

From the time I was at the Minor Seminary of Pematang Siantar, North Sumatra, after the time I left, I often asked permission to leave because I never felt really fully “the vocation for the religious life and the priesthood” and because of difficulty of celibacy.

First of all there there was a strong pressure of my parents to become a priest. At the Minor Seminary and at the monastery I was always given the counsel to try it again and my self I did not have enough courage to make a decision different from the strong desire of my parents and the counsel I received at th Seminary and the monastery. So my my motivation to enter the Order and to make my first and solemn profession was almost the same: I would try as good possible, but was always unsure and doubtful. There was no any real problem in leving the religious life, no difficulty about faith, but I was just afraid to stay and afraid to leave, especially because of the celibacy. I did my best, seriously. I understood well the meaning and the consequences, but I was always afraid of not being capable to live chastely. And I always have spoken about these questions with my formators, i.e. about my doubts with Fr. F.J.M. Kutschruiter and Fr. C. Verbeek, about the celibacy with Fr. Yulius Sudharnoto. Some months after having made my final vows on 15 August 2002 I’ve spoken with Fr. C. Verbeek about my doubts concerning my vocation and he gave me the counsel that I should not ask to be ordained deacon. But I felt rather sure for a moment and so I asked to be ordained deacon, what happened at 27 February 2003. Afterwards I asked to postpone priestly ordination for one year, but finally after some months I decided to leave (11 July 2003). I know that at time I signed the declaration that I was receiving the ordination of deacon with full knowledge and freedom, I was still doubting in my heart. After the ordination as deacon I spoke about my difficulties too with Fr. Thomas Gheta, the priest who was in charge of the parish where I assisted as deacon for several months. After leaving the monastery I did not exercise the ministry, but I have a job provide for my living. And after receiving dispensation I should like to marry.

The following persons can give testimony about my case:

Father Heribertus Heru Purwanto, O.Carm., provincial at the time;

Father F.J.M. Kutschruiter, O.Carm., my spiritual director;

Father Yulius Sudharnoto, the prior and magister studentium for the last two years;

Father Th. Gheta, parish priest of Kepanjen and

Father C. Verbeek, for several years spiritual director.

Jakarta, 6 Juni 2006

my photos


A part of my family

A part of my family